Dengan Donald Trump yang berpotensi kembali menjadi presiden, ancaman terhadap kebebasan pers di Amerika semakin nyata. Pada masa jabatan pertamanya, Trump banyak menyerang media yang mengkritiknya dan mencoba mengurangi peran pers sebagai pengawas kekuasaan. Seiring dengan kembalinya Trump, risiko terhadap kebebasan pers bisa semakin meningkat, mulai dari pengawasan yang lebih ketat hingga penyalahgunaan wewenang untuk menghukum jurnalis yang tidak sejalan dengan pemerintahannya. Untuk itu, sebelum pelantikan Trump, Presiden Joe Biden dan Kongres harus mengambil langkah-langkah konkret untuk melindungi kebebasan pers yang sudah terancam.
Seth Stern, Direktur Advokasi dari Freedom of the Press Foundation (FPF), baru-baru ini memperingatkan tentang risiko yang dihadapi oleh jurnalis dan sumber berita jika Trump terpilih kembali. Salah satu ancaman terbesar adalah kemungkinan meningkatnya pengawasan terhadap media, dengan penggunaan teknologi dan agen federal untuk melacak dan membatasi kebebasan berpendapat. Selain itu, tindakan hukum yang semakin agresif juga bisa digunakan untuk menekan dan menakut-nakuti para jurnalis, seperti yang terjadi pada masa jabatan pertamanya.
Untuk menghadapi ancaman-ancaman ini, Trevor Timm, Direktur Eksekutif FPF, mengidentifikasi tiga langkah utama yang harus segera diambil oleh pemerintah dan legislatif untuk melindungi kebebasan pers. Pertama, mendukung disahkannya Undang-Undang PRESS yang bertujuan melindungi jurnalis dari tindakan represif dan memberi mereka perlindungan lebih kuat terhadap tuntutan hukum yang bisa merugikan kebebasan mereka dalam melaporkan berita. Ini penting agar para jurnalis dapat bekerja tanpa rasa takut akan tindakan balasan dari pemerintah atau kelompok yang berkuasa.
Kedua, perlu adanya perubahan pada Bagian 702 dari Foreign Intelligence Surveillance Act (FISA) yang memungkinkan pemerintah untuk melakukan pengawasan tanpa izin pengadilan terhadap individu, termasuk jurnalis. Dengan memperbaiki bagian ini, akan lebih mudah untuk melindungi data pribadi dan komunikasi yang terkait dengan pekerjaan jurnalis, mengurangi risiko penyalahgunaan untuk mengintimidasi wartawan atau mencuri informasi penting.
Selain itu, FPF juga menyoroti pentingnya menentang penggunaan senjata AS oleh negara lain untuk membungkam jurnalis. Ini termasuk menghentikan penyaluran bantuan militer kepada negara-negara yang menggunakan kekuatan tersebut untuk mengintimidasi atau bahkan membunuh jurnalis. Salah satu contoh adalah tindakan militer yang dilakukan oleh beberapa negara terhadap jurnalis yang bekerja di zona konflik, yang sering kali mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia.
Di sisi lain, jurnalis juga perlu memperkuat keamanan digital mereka untuk menghadapi ancaman yang lebih canggih di dunia maya. FPF bekerja sama dengan berbagai organisasi, termasuk Knight Election Hub, untuk memberikan pelatihan tentang bagaimana menjaga keamanan digital para jurnalis yang meliput pemilu dan kejadian penting lainnya. Penggunaan alat enkripsi, misalnya, sangat disarankan untuk menjaga kerahasiaan komunikasi dan melindungi informasi yang dapat membahayakan jurnalis jika jatuh ke tangan yang salah.
Penting untuk dicatat bahwa ancaman terhadap kebebasan pers tidak hanya berasal dari pemerintah AS saja, tetapi juga dari kelompok politik yang mungkin merasa terancam oleh pemberitaan yang tidak menguntungkan mereka. Hal ini termasuk upaya menggunakan hukum perlindungan konsumen untuk menggugat media yang dianggap merugikan mereka. Taktik seperti ini sering disebut sebagai SLAPP (Strategic Lawsuits Against Public Participation) dan bertujuan untuk menghentikan media dari melaporkan informasi yang dianggap merugikan pihak tertentu.
Trump sendiri tidak hanya mengancam dengan cara fisik atau hukum, tetapi juga dengan membangun narasi bahwa media yang mengkritiknya adalah musuh negara. Ini terlihat jelas dalam upayanya untuk menyerang surat kabar seperti The Washington Post dan televisi seperti CBS, dengan klaim bahwa mereka secara tidak sah mendukung pihak tertentu dalam politik. Narasi semacam ini bisa memicu tindakan hukum yang lebih luas, merusak kredibilitas media, dan membuat jurnalis semakin terintimidasi.
Ancaman terhadap kebebasan pers juga terkait dengan meningkatnya kerahasiaan pemerintah yang cenderung menutup informasi publik yang seharusnya dapat diakses oleh masyarakat dan media. Ketika Trump menjabat sebagai presiden, banyak data penting yang dihapus dari situs web pemerintah, menghambat kemampuan jurnalis untuk mengawasi tindakan pemerintah. Oleh karena itu, ada urgensi untuk segera mengunduh dan menyimpan data yang mungkin hilang, serta memperjuangkan transparansi dalam pemerintahan yang akan datang.
Biden dan anggota Kongres juga perlu bekerja sama untuk mengubah kebijakan terkait dokumen yang diklasifikasikan, yang seringkali digunakan untuk menutupi pelanggaran atau kebijakan yang tidak diinginkan oleh pemerintah. Agar kebebasan informasi tetap terjaga, undang-undang seperti Freedom of Information Act (FOIA) harus diperbarui untuk memastikan bahwa publik dan media memiliki akses yang lebih mudah terhadap informasi yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah.
Dengan ancaman yang semakin nyata, jurnalis di seluruh dunia juga perlu bergabung dalam upaya melindungi kebebasan pers. Salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan mendukung dan berpartisipasi dalam forum dan diskusi internasional tentang kebebasan pers dan tantangan yang dihadapi oleh para jurnalis, seperti yang dilakukan oleh FPF dalam konferensi London Logan Symposium baru-baru ini. Melalui kolaborasi global, kita dapat memastikan bahwa kebebasan pers tetap terjaga meskipun menghadapi tantangan dari pihak yang ingin membungkam suara-suara kritis.
Trump mungkin saja kembali ke Gedung Putih, tetapi dengan upaya bersama dari masyarakat, jurnalis, dan lembaga seperti FPF, kita bisa memastikan bahwa kebebasan pers tetap terlindungi dan dapat menjalankan perannya sebagai pilar demokrasi yang sejati.